Educatrip.com – Aktivis perdamaian Marieha Hussain didakwa atas kejahatan kebencian setelah membawa plakat satir yang menggambarkan Perdana Menteri Inggris saat itu Rishi Sunak dan Menteri Dalam Negerinya, Suella Braverman, sebagai kelapa. Hussain kemudian dinyatakan tidak bersalah. Guru berusia 37 tahun itu membantah tuduhan tersebut di pengadilan pada Jumat (13/9/2024), dengan pembelaannya mengatakan plakat yang dibawanya selama protes pro-Palestina pada November bersifat satir dan lucu, bukan rasis. Hal ini dikutip dari redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Jaksa Penuntut, Jonathan Bryan, berpendapat plakat itu menunjukkan seseorang berkulit cokelat di luar tetapi berkulit putih di dalam. “Dengan kata lain, Anda pengkhianat ras, Anda tidak berkulit cokelat atau hitam seperti yang seharusnya,” ujar dia. Hal ini diungkapkan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Pembela Hussain menggambarkan keputusan mengajukan kasus ke pengadilan sebagai serangan yang mengganggu terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan protes damai. Pengacaranya, Rajiv Menon KC, mengatakan, “Marieha Hussain dari semua orang dituntut atas pelanggaran rasial, sementara orang-orang seperti Suella Braverman dan Nigel Farage dan Stephen Yaxley-Lennon alias Tommy Robinson dan Frank Hester tampaknya bebas membuat pernyataan yang menghasut dan memecah belah … saya khawatir, tidak dapat dipahami oleh banyak orang.” Hal ini dilaporkan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Braverman sebelumnya menyebut protes pro-Palestina sebagai “pawai kebencian” dan rekan-rekan Tory telah memperingatkan komentarnya tentang kapal migran dan geng-geng “membuat kaum rasis semakin berani”. Hal ini disampaikan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Setelah persidangan dua hari, hakim memutuskan, “Plakat itu adalah bagian dari genre satir politik.” Hal ini diungkapkan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Mengomentari keputusan tersebut, Cage International mengatakan, “Cobaan berat Marieha menyoroti metode jahat yang digunakan negara Inggris untuk membungkam dan mengintimidasi kebebasan berbicara warganya sendiri, untuk melindungi perang genosida negara asing. Marieha mengalami pelecehan selama berbulan-bulan, termasuk wawancara polisi yang kasar, kunjungan polisi larut malam, dan kampanye kotor di media yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaannya dan memindahkan keluarganya untuk sementara waktu demi keselamatan.” Hal ini diungkapkan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
“Meskipun ini merupakan hasil yang positif, kasus Marieha tetap menjadi pengingat nyata akan ketidakadilan yang terus terjadi yang dihadapi banyak orang saat menentang keterlibatan Inggris dalam genosida di Gaza,” tegas Cage International. Hal ini dikutip oleh redaksi Educatrip.com dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Israel telah membunuh 41.118 warga Palestina di Gaza. Sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak. Hal ini disampaikan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).
Inggris menjadi salah satu pemasok senjata Israel yang digunakan untuk membantai warga Palestina di Gaza. Hal ini dilaporkan oleh redaksi Educatrip.com yang mengutip dari laman Antaranews pada Senin (16/9/2024).