educatrip.net – Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir serta Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Yonvitner, memaparkan ekspor pasir laut sudah ada sejak lama dinilai sebagai aktivitas yang tersebut tiada menguntungkan. Penambangan pasir di dalam laut dangkal dianggap mengganggu ekosistem, bahkan aspek sosial ekonomi.
“Berdasarkan lebih tinggi dan juga banyaknya risiko penambangan pasir laut terhadap habitat” kata beliau untuk Tempo, Kamis, 26 September 2024.
Pemerintah belakangan membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sudah ada ditutup selama dua dekade terakhir. Perdagangan pasir laut ke luar negeri bisa saja dimulai kembali melalui Peraturan pemerintahan (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi dalam Laut.
Revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dalam bidang ekspor, yaitu Permendag Nomor 20 Tahun 2024 juga Permendag Nomor 21 Tahun 2024, juga memuluskan ekspor material dari pada air garam tersebut. Kini, Kementerian Kelautan serta Perikanan (KKP) sedang mengkaji juga menyeleksi 66 perusahaan yang mana sudah pernah mengajukan izin untuk ekspor pasir laut.
Presiden Joko Widodo mengklaim ekspor itu hanya sekali untuk hasil endapan atau sedimentasi, bukanlah untuk pasir laut. Material endapan itu juga rencananya dikeruk lantaram mengganggu alur pelayaran kapal laut.
Menurut Yonvitner, PP 26 Tahun 2023 belum mengatur perbaikan dari sisi fungsi ekologi. Mekanisme perdagangan lalu bagi hasil pasir laut yang dimaksud juga belum menyangkut pendanaan untuk keinginan konservasi area sasaran penambangan. Dia menyampaikan belum ada kajian yang dimaksud jelas melawan revisi dua Permendag yang digunakan baru.
“Tidak ada kajian tentang risiko terhadap ekosistem, habitat, lalu lingkungan,” ucap dia.
Beda Sedimen lalu Pasir Laut versi IPB
Mewakili Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir juga Lautan IPB University, Yonvitner menyampaikan perbedaan antara sendiment serta pasir laut sangat kentara. Sedimen mencakup beraneka hasil pelapukan, mulai dari batuan, kerikil, pasir, dan juga lumpur kasar kemudian halus.
“Kalau bicara sedimen, semestinya (mencakup) semua hasil pelapukan yang tersebut diendapkan,” tutur dia.
Adapun Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Tanah Air (IAGI), Andang Bachtiar, menjelaskan bahwa pasir pada berada dalam laut dangkal, pada kedalaman 10-100 meter, bukanlah hasil sedimentasi baru dari sungai. Material yang tersebut tersebar di sekitar Paparan Sunda, mulai dari perairan Riau, Teluk Thailand, perairan Natuna, perairan utara Jawa selatan, dan juga Kalimantan, tergolong pasir laut purba.
“Hasil sedimentasi sungai-sungai pada 10-20 ribu tahun yang mana lalu, saat paparan Sunda masih berubah menjadi daratan,” kata Andang untuk Tempo pada 25 September lalu.
Menyebut diri sebagai sedimentologist, Andang menjamin material yang dimaksud akan ditambang juga dikirim ke luar negeri nanti tidak lumpur, lempung, maupun lanau, namun murni pasir dengan diameter 1,16 – 2 milimeter. Izin ekspor tersebut, kata dia, tak berkaitan dengan pendangkalan muara sungai pada masa kini.
“Mereka menambang pasir-pasir purba,” tutur Andang.
Artikel ini disadur dari Kontroversi Ekspor Pasir Laut, Peneliti Pesisir IPB: Tidak Ada Untungnya bagi Indonesia