Ketua Komisi XI DPR Skor Aturan PPN Membingungkan

Bahjah Jamilah

Ketua Komisi XI DPR Hasil Aturan PPN Membingungkan

Educatrip.net – JAKARTA – Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengkritisi Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Pajak Pertambahan Kuantitas ( PPN ). Menurutnya, peraturan itu memunculkan multitafsir dan juga membingungkan, khususnya bagi dunia usaha.

Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah terjadi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Angka (PPN) dari 11% menjadi 12% belaka berlaku untuk barang dan juga jasa mewah. Barang kemudian jasa mewah yang dimaksud adalah kategori yang digunakan selama ini telah dikenakan PPN barang mewah serta semata-mata dikonsumsi oleh rakyat golongan mampu.

Menurut Misbakhun, perintah yang digunakan sudah ada jelas yang dimaksud tiada bisa saja diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat dalam Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Aturan pelaksanaannya pada PMK sangat membingungkan juga menyebabkan kerancuan di penerapannya akibat menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12, dalam mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tiada mampu menerapkan PPN dengan multitarif.

“Padahal sangat jelas bahwa pada Pasal 7 UU HPP tidak ada ada larangan persoalan multitarif PPN, sehingga penerapan tarif PPN 11% juga PPN 12% mampu diterapkan bersamaan sekaligus. Tarif PPN 11% untuk yang digunakan tiada naik, sedangkan tarif PPN 12% belaka untuk barang lalu jasa mewah,” kata Misbakhun pada keterangannya, hari terakhir pekan (3/1/2025).

Politikus Golkar itu mengatakan, dunia perniagaan resah dengan penerapan aturan ini. Beberapa perusahaan ritel dilaporkan sudah memungut PPN sebesar 12%, seperti yang dimaksud disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak di media briefing pada 2 Januari 2025. Persiapan yang digunakan mepet menjauhi implementasi kebijakan ini juga dinilai menyulitkan pelaku usaha pada menyesuaikan sistem mereka.

Misbakhun menyampaikan meskipun entrepreneur dapat melakukan penghitungan ulang PPN melalui SPT Masa, kebijakan ini masih membebani masyarakat. Ia menekankan bahwa aturan yang digunakan multitafsir serta tidaklah sesuai dengan arahan Presiden dapat memunculkan ketidakpercayaan rakyat untuk pemerintah.

Mukhamad Misbakhun juga mempertanyakan loyalitas birokrat dalam Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di menerjemahkan instruksi Presiden. Ia menilai bahwa PMK Nomor 131 Tahun 2024 menunjukkan adanya tafsir subjektif yang dimaksud bertentangan dengan perintah Presiden juga UU HPP. Misbakhun bahkan menyarankan agar Dirjen Pajak mempertimbangkan untuk mengundurkan diri jikalau tidaklah mampu melaksanakan arahan Presiden dengan tepat.

Misbakhun mendesak agar Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, menciptakan peraturan yang tersebut lebih banyak simpel lalu tak mengakibatkan multitafsir. Ia juga memohon agar mekanisme penyusunan peraturan diadakan dengan cermat sehingga tidak ada memunculkan keresahan pada publik maupun dunia usaha.

Kebijakan perpajakan yang mana menjadi salah satu aspek strategis di perekonomian nasional membutuhkan penerapan yang dimaksud akurat lalu transparan agar tujuan meningkatkan keadilan pajak dapat tercapai tanpa mengakibatkan polemik.

Leave a Comment