Negeri Paman Sam Cabut dari Perjanjian Iklim Paris, Hal ini yang mana Perlu Dilakukan Indonesia

Faridah Hasna

Negeri Paman Sam Cabut dari Perjanjian Iklim Paris, Hal ini yang digunakan mana Perlu Dilakukan Indonesia

Educatrip.net – JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan langkah kontroversial dengan mengeluarkan negaranya dari Perjanjian Paris yang digunakan berkaitan dengan upaya menanggulangi krisis iklim.

Juru Kampanye Daya Fosil Trend Asia Novita Indri mengatakan, mundurnya Amerika Serikat berisiko menghambat misi transisi energi dunia untuk memerangi krisis iklim. Selain itu, berpotensi menghambat upaya pendanaan internasional sebab kemungkinan berkurangnya komitmen Amerika Serikat pada membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang dimaksud salah satunya tertuang di kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Meski demikian, hilangnya kepemimpinan Amerika Serikat dinilai membuka kesempatan untuk kepemimpinan terintegrasi yang digunakan lebih banyak kolaboratif. Perlu dipertimbangkan kembali skema-skema kerja sejenis yang tersebut adil dengan negara-negara lain, termasuk negara tumbuh untuk dapat mencapai target Perjanjian Paris.

“Perjanjian Paris seharusnya dipandang bukanlah hanya saja sebagai janji di tempat berhadapan dengan kertas berisikan bahasa-bahasa teknis untuk menurunkan emisi, tapi Perjanjian yang disebutkan adalah sebuah komitmen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Krisis iklim telah terjadi serta dampaknya sudah didepan mata,” kata Novita pada keterangannya, Rabu (5/2/2025).

Analisis World Resources Institute (WRI) pada 2023, menunjukkan tiga negara penghasil emisi terbanyak diduduki oleh China, Amerika Serikat, dan juga India yang berkontribusi sekitar 42,6% dari total emisi global.

Menurut Novita, inovasi akibat mundurnya Negeri Paman Sam tiada berarti Indonesia harus mengendorkan upaya transisi energi di dalam berada dalam ancaman krisis iklim.

“Sedari awal, pendanaan JETP memang sebenarnya buram terkait realisasinya. Ia cuma pengemasan ulang dari komitmen lama dan juga didominasi oleh skema utang yang mana berpotensi membebani Indonesia,” ujar Novita.

Pihaknya juga menyayangkan pernyataan Menteri Energi lalu Narasumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang mana menyebutkan Indonesia tiada perlu terburu-buru melakukan transisi energi juga “terjebak” di Perjanjian Paris dalam berada dalam mundurnya Amerika Serikat kemudian belum turunnya dana bantuan transisi energi dari JETP.

“Seharusnya Bahlil menyadari betapa anti-sains serta kontroversial langkah Trump di area mata dunia internasional. Jangan malah meniru kemudian terjebak di race to the bottom. Ini adalah seharusnya menyokong kita untuk meningkatkan perniagaan mitigasi dan juga adaptasi oleh sebab itu kita rentan pada krisis iklim,” ujar Novita.

Leave a Comment